Salah satu major brand yang pernah keluar dari pasar Indonesia adalah 7-Eleven atau yang lebih akrab disebut sevel. Perusahaan retail ini masuk pasar Indonesia sejak tahun 2009 tapi memutuskan untuk gulung tikar dari negeri ini pada tahun 2017 dengan menyebut minimnya penjualan sebagai alasan dia keluar.
7-Eleven sendiri adalah perusahaan retail asal Dallas, Amerika Serikat yang didirikan pada tahun 1928. Hingga tahun 2021, perusahaan ini telah memiliki lebih dari 78.000 gerai di 19 negara. Kegagalan 7-eleven di pasar Indonesia ini menyisakan pelajaran berharga. Berikut ini 6 alasan sevel tutup di Indonesia:
1. Ketidakjelasan Konsep Bisnis
Alasan yang pertama adalah ketidakjelasan konsep bisnis. 7-Eleven adalah minimarket yang memiliki konsep minimarket premium yang menyediakan berbagai makanan yang siap dipanaskan dan dinikmati di tempat.
Konsep ini menjadikan 7-Eleven menjadi titik tengah antara minimarket efisien seperti Indomaret atau Alfamart dengan restoran siap saji seperti, KFC, Starbucks dan lain sebagainya. Akibatnya, 7-Eleven tidak hanya harus berkompetisi dengan minimarket lain, tetapi juga restoran dan bahkan warung.
2. Kegagalan Dalam Menganalisis Perilaku Konsumen
Salah satu poin yang ditawarkan oleh 7-Eleven adalah kemungkinan untuk makan di tempat (dine in). Hal ini mengakibatkan dua hal yaitu inefisiensi biaya yang akan kita bahas dalam poin selanjutnya dan membuktikan kalau sevel gagal menganalisis perilaku konsumen potensial mereka di Indonesia.
Salah satu faktor kegagalan sevel adalah banyaknya konsumen yang hanya membeli minuman atau makanan non-premium tapi memanfaatkan fasilitas Wifi yang disediakan selama berjam-jam. Akibatnya meskipun terlihat padat, pendapatan 7-Eleven tidak sebesar kelihatannya.
3. Inefisiensi Biaya
Penyebab sevel tutup di Indonesia yang ketiga adalah inefisiensi biaya. Inefisiensi biaya ini disebabkan:
- Pendapatan yang minim karena pembeli yang hanya membeli makanan ringan tapi memanfaatkan Wifi hingga berjam-jam.
- Ekspansi yang terlalu cepat. 5 tahun sejak masuk ke Indonesia, 7-Eleven telah memiliki 190 gerai di Jakarta saja dan membukukan pendapatan senilai 78 miliar USD. Meskipun terdengar bagus, namun nyatanya perkembangan yang terlalu cepat ini menjadi boomerang tersendiri bagi sevel. Hal ini karena ekspansi cepat tersebut dibiayai oleh utang, sehingga perusahaan manajemen sevel tidak hanya harus membayar pokok utang tetapi juga harus membayar bunganya.
Penjualan yang rendah dan tingkat pinjaman berbunga tinggi, tentu bukan hal yang sehat untuk keuangan 7-eleven. Akibatnya, perusahaan tersebut menutup 25 gerainya pada tahun 2016.
4. Regulasi
Aspek regulasi menjadi faktor lain yang menyebabkan sevel tutup di Indonesia. Pada tahun 2015, Kementerian Perdagangan RI resmi menerapkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 06/M-DAG/PER/1/2015 mengenai Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Peraturan ini melarang penjualan minuman dengan kadar alkohol 1%-5% di kios maupun di minimarket.
Akibat dari regulasi ini, pendapatan 7-Eleven pada tahun 2015 turun hingga 28% (CNBC). Hal ini berkebalikan dengan pendapatan dua pesaingnya saat itu yaitu Indomaret dan Alfamart yang justru mencatatkan kenaikan pendapatan masing-masing 16% hingga 300%.
Kegagalan dalam hal menghadapi regulasi alkohol ini juga membuktikan bahwa 7-Eleven kurang memahami perilaku konsumen Indonesia. Sebab, 87% masyarakat Indonesia adalah penganut Agama Islam yang notabene melarang konsumsi minuman beralkohol.
5. Gagal Melawan Pesaing
Peningkatan jumlah gerai cepat dari 1 pada tahun 2009 menjadi 190 pada tahun 2014 sayangnya juga tidak menambah market share 7-Eleven di Indonesia. Menurut catatan CNBC, ketika itu Indomaret dan Alfamart masing-masing sudah memiliki 15.000 dan 10.000 gerai di seluruh Indonesia.
Sevel ketika itu juga hanya menguasai 0,7% pangsa pasar minimarket Indonesia, berbalik dengan Indomaret dan Alfamart yang menguasai pangsa pasar masing-masing 47% dan 38% dari total pangsa pasar minimarket di Indonesia.
Perkara regulasi juga mempengaruhi hal ini. Sebagai brand retail lokal, regulasi terhadap Indomaret dan Alfamart dinilai lebih longgar dibandingkan 7-Eleven yang merupakan brand luar negeri. Hal ini berakibat Indomaret dan Alfamart bisa mengembangkan bisnisnya hingga ke luar Jakarta sementara 7-Eleven masih stuck di Jabodetabek saja.
6. Perlambatan Ekonomi
Tahun 2015 merupakan salah satu tahun dimana tingkat daya beli masyarakat melemah. Bahkan ketika itu, Indonesia sempat mengalami deflasi (penurunan harga barang secara serentak) selama 4 bulan yaitu, Januari, Februari, September dan Oktober.
Bahkan kenaikan harga barang-barang di bulan-bulan lainnya pun termasuk rendah apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Perlambatan ekonomi akibat penurunan daya beli ini mengakibatkan jumlah orang yang datang untuk membeli produk-produk di 7-Eleven juga ikut menurun.
Pelajaran dari Alasan Tutupnya Sevel di Indonesia
Lalu, apa pelajaran yang bisa diambil dari hengkangnya sevel di Indonesia? Berikut ini beberapa hal yang bisa dipelajari dari keluarnya brand retail terkemuka dunia tersebut dari negeri ini:
1. Penting bagi seorang pebisnis untuk mengetahui perilaku target konsumennya
Selain suka berkumpul dengan keluarga dan teman, generasi muda Indonesia juga merupakan penikmat barang-barang dengan harga terjangkau. Faktor perilaku ini membuat banyak restoran fast food yang membuka fasilitas dine in di Indonesia. Namun karena pendekatannya cukup hati-hati, banyak dari restoran fast food tersebut sukses.
Faktor ini gagal dipahami oleh pihak manajemen sevel. Akibatnya, biaya sewa membengkak karena butuh tempat luas, tetapi pemasukannya minim karena banyak konsumen yang hanya membeli makanan dengan harga terjangkau.
Selain itu, hal yang gagal dipahami oleh manajemen sevel adalah larangan minuman beralkohol. Padahal jelas bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam dan melarang konsumsi alkohol sehingga wajar kalau distribusinya dibatasi.
Hal-hal seperti ini harus dipertimbangkan dan dianalisis dalam analisis kelayakan bisnis sebelum Anda membuka perusahaan. Sebab tentunya tidak ada perusahaan yang ingin menjadi sevel kedua, ketiga atau keempat bukan?
2. Ekspansi bisnis belum tentu bermakna positif
Banyak pihak yang menilai bahwa perkembangan sevel pada tahun-tahun pertama mereka di Indonesia terlalu cepat dan agresif. Padahal perkembangan bisnis yang cepat dan agresif bukan pula hal yang positif apabila tidak disertai dengan hal-hal lain seperti, peningkatan pendapatan, laba dan aset.
Pada kasus sevel di atas misalnya, ekspansi yang agresif tidak dibarengi dengan peningkatan laba yang seimbang dan peningkatan market share. Akibatnya, alih-alih menguntungkan, ekspansi tersebut justru membebani perusahaan dengan jumlah pinjaman dan tingkat bunga yang tinggi.
3. Ketahui pesaing untuk menentukan strategi bisnis yang jelas
Pada poin pertama dijelaskan bahwa, konsep bisnis sevel justru membuat usaha minimarket premium ini serba nanggung dan bersaing dengan berbagai pemain besar di industri berbeda. Layanan premium dan dine in minimarket ini bersaing dengan restoran dan warung sementara sisi minimarketnya bersaing dengan minimarket besar seperti Alfamart dan Indomart.
Oleh sebab itu, sebelum membuka bisnis sebaiknya Anda mengetahui siapa pesaing usaha Anda dan memanfaatkan kelemahannya untuk menjadi nilai tambah bisnis Anda.