Lompat ke konten

Sistem Perbankan di Indonesia dan Cara Kerjanya

Sistem Perbankan di Indonesia

Bank adalah salah satu lembaga yang berperan penting dalam perekonomian sebuah negara. Tanpa adanya lembaga ini, masyarakat yang membutuhkan dana pinjaman tidak bisa mengakses pinjaman yang legal sementara masyarakat yang memiliki kelebihan dana bisa meminjamkan dana mereka dengan sewenang-wenang. 

Oleh sebab itu, lembaga ini harus secara resmi  diatur oleh pemerintah. Tujuannya supaya masyarakat bisa mengakses pinjaman secara legal dengan tingkat bunga yang terkendali. Dengan demikian, ketimpangan antara si kaya dan si miskin dapat terkendali dengan baik juga. 

Sebelum masuk ke topik utama kali ini alangkah baiknya jika kita bahas terlebih dahulu apa itu bank dan sistem perbankan di Indonesia.

Pengertian Bank dan Sistem Perbankan

Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, bank adalah badan usaha yang bertugas menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman atau kredit untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. 

Dari definisi tersebut jelas bahwasanya fungsi utama lembaga ini adalah sebagai lembaga “financial intermediary” atau lembaga penyalur dana dari dan kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat yang membutuhkan dana untuk keperluan usaha atau konsumsi bisa mendapatkan pinjaman yang legal sementara masyarakat yang memiliki kelebihan dana bisa tahu dimana dia harus menyimpan dana tersebut dengan tanpa takut kehilangan. 

Adapun sistem perbankan adalah segala sesuatu mengenai institusi ini baik itu meliputi aspek kelembagaanya, peraturan pemerintah yang mengaturnya dan lain sebagainya. 

Dilansir dari laman sef.ugm.ac.id, saat ini perbankan di Indonesia mengikuti sistem dual banking dimana kini Indonesia memiliki dua jenis bank umum yaitu yang memiliki mekanisme konvensional dan syariah. 

Seluruh jenis bank di Indonesia sejak tahun 2011 diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan, sebuah lembaga independen yang berfungsi untuk mengatur dan mengawasi industri keuangan di Indonesia secara umum.

Sejarah Perbankan di Indonesia

Perkembangan lembaga ini di Indonesia memiliki jalan yang panjang. Tercatat pada tahun 1746 bank pertama di Indonesia didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memutar uang para pegawai VOC. Nama institusi tersebut adalah De Bank van Courant en Bank van Leening. Lembaga keuangan ini lantas tutup pada tahun 1818. 

10 tahun setelah tutupnya De Bank van Courant  berdirilah De Javasche Bank (DJB), sebuah institusi yang menjadi cikal bakal berdirinya Bank Indonesia (BI). Institusi ini lantas digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menyukseskan program tanam paksa. Dalam perkembangannya,  DJB sempat memiliki 15 cabang di seluruh Indonesia dan sempat diakuisisi oleh pemerintah Jepang. Namun setelah Indonesia merdeka, lembaga ini ini diresmikan menjadi BI. 

Di tengah perkembangan DJB, muncul pula institusi perkreditan lain. Salah satunya adalah  De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden yang menjadi cikal bakal  BRI dan Postspaarbank yang menjadi cikal bakal BTN. 

Industri keuangan Indonesia sempat mengalami naik turun pasca negeri ini merdeka. Salah satunya adalah ketika krisis Asia-Pasifik atau krisis moneter tahun 1998. Sebelum krisis tercatat Indonesia memiliki lebih dari 200 bank. A

kan tetapi, karena krisis keuangan banyak perusahaan yang harus dilikuidasi sehingga pada tahun 2000, jumlah bank yang tersisa hanya tinggal 151 termasuk Bank Mandiri yang lahir dari merger 5 bank kecil pasca krisis (Katadata). 

Per Oktober 2021, OJK mencatat jumlah lembaga ini saat ini hanya ada 107 perusahaan. Jumlah ini menurun dari 115 perusahaan di tahun 2018 karena adanya merger dari beberapa perusahaan (Bisnis.com).

Jenis-Jenis Bank di Indonesia

Secara garis besar, institusi ini terbagi menjadi 3 yaitu, Bank Sentral, Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank umum dan BPR ini kemudian dibagi lagi menurut mekanisme kerjanya yaitu bank konvensional, bank syariah, BPR konvensional dan BPR Syariah. Berikut ini perinciannya:

1. Bank Sentral

Bank sentral adalah lembaga yang bertugas untuk membuat dan mengatur kebijakan moneter dalam perekonomian suatu negara. Kebijakan moneter ini seperti, penerbitan uang, mengendalikan inflasi, memberikan peraturan mengenai suku bunga acuan dan lain sebagainya. 

Indonesia hanya memiliki satu lembaga ini yaitu Bank Indonesia. Sebelum OJK didirikan, salah satu tugas BI adalah mengawasi dan mengatur seluruh lembaga keuangan di Indonesia. Namun setelah OJK berdiri, tugas BI dalam hal ini hanya terbatas pada aspek kebijakan makro saja sedangkan untuk kebijakan mikro diberikan kepada OJK.

2. Bank Umum Konvensional (BUK)

Bank umum konvensional (BUK) adalah lembaga yang bertugas menerima dan menyalurkan dana nasabah dengan metode konvensional. Pendapatan lembaga ini utamanya diperoleh dari selisih antara suku bunga kredit yang harus dibayarkan nasabah dengan suku bunga tabungan yang harus mereka berikan kepada nasabah pemilik simpanan. 

Contoh BUK di Indonesia sangat banyak. Tentu Anda mengenal BCA, BNI , BRI dan lain-lain. Perusahaan tersebut adalah beberapa diantara 96 bank umum konvensional yang tercatat di BPS pada tahun 2019.

3. Bank Umum Syariah (BUS)

Bank umum syariah (BUS) adalah lembaga keuangan yang mekanisme kerjanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah seperti, tidak menerapkan riba, tidak menyalurkan kredit untuk penggunaan yang dilarang hukum Islam dan lain sebagainya. Dalam operasinya, BUS tidak hanya diawasi oleh OJK tetapi juga oleh Dewan Syariah Nasional-MUI (DSN-MUI) untuk memastikan bahwa setiap transaksinya sudah sesuai dengan hukum syariah. 

Menurut data BPS, per tahun 2019 terdapat 14 BUS yang beroperasi di Indonesia. Namun kemungkinan jumlah ini berkurang menjadi 12 mengingat tahun 2021 lalu 3 BUS milik negara merger menjadi 1 perusahaan saja yaitu Bank Syariah Indonesia (BSI). 

4. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah lembaga yang tugas utamanya hanya menerima dan menyalurkan simpanan nasabah dengan metode konvensional saja. Perbedaan utama BPR dan bank umum adalah bank umum bisa menyalurkan transaksi pembayaran, menerima giro dan bisa melakukan transaksi dalam bentuk valuta asing sementara BPR tidak. Oleh sebab itu, tidak heran jika umumnya BPR fokus pada pembiayaan usaha mikro. 

Per tahun 2019, terdapat 1545 BPR konvensional di seluruh Indonesia. Salah satu contohnya adalah BPR Nusamba Ngunut, BPR Lestari Jatim dan lain sebagainya. 

5. Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)

Bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) atau juga yang sering disebut dengan Baitul Maal wat Tamwil (BMT) adalah jenis BPR yang seluruh transaksinya dikelola menggunakan prinsip syariah. Sama seperti bank syariah, BPRS juga diawasi oleh DSN-MUI. 

Saat ini terdapat 164 BPRS yang tersebar di seluruh Indonesia. Termasuk diantaranya adalah BMT-UGT Nusantara Sidogiri, salah satu anak usaha koperasi syariah milik Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan Jawa Timur. 

Pentingnya Menjaga Kesehatan Sistem Perbankan Di Indonesia

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas utama bank adalah untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan laba lembaga ini utamanya diperoleh dari selisih suku bunga tabungan dan suku bunga pinjaman. 

Coba Anda bayangkan jika banyak nasabah yang gagal membayar kredit (pinjaman) mereka? Tentu alih-alih mendapatkan laba, perusahaan justru akan merugi. Parahnya lagi, jika bank merugi, mereka tidak bisa membayar suku bunga tabungan atau bahkan pokok simpanan nasabah lain. Apabila hal ini terjadi serentak, tentu perekonomian nasional akan terancam. 

Kejadian seperti ini pernah terjadi di Indonesia pada masa krisis moneter 1997/1998. Ketika itu karena buruknya kondisi fundamental sistem perbankan di Indonesia dan karena anjloknya kurs rupiah terhadap dollar, 16 bank harus dilikuidasi (dinyatakan bangkrut).

Penutupan 16 perusahaan ini lantas membuat masyarakat takut kalau bank swasta kecil lain juga akan dilikuidasi. Akibatnya, masyarakat menarik uang secara besar-besaran sehingga banyak perusahaan dengan nilai aset kecil  juga harus dilikuidasi. 

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah melaksanakan berbagai program restrukturisasi perbankan. Indonesia memerlukan waktu kurang lebih 6 tahun untuk keluar dari krisis ini. Berkaca dari kasus 1997/1998, pemerintah Indonesia, BI serta stakeholder industri perbankan secara umum mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan keuangan lembaga ini. 

Dalam hal ini, Pemerintah dan BI menerapkan berbagai kebijakan preventif seperti, penerapan cadangan wajib minimum (reserve ratio), pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) serta kebijakan makro dan mikroprudensial lainnya. Harapannya adalah jika terjadi krisis lagi seperti krisis 2008 dan krisis akibat pandemi seperti saat ini, sistem perbankan Indonesia tetap sehat.

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna

Farichatul Chusna merupakan salah satu finalist PKM-Kewirausahaan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional tahun 2016. Selama menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Chusna aktif mencari dan mengeksekusi ide bisnis yang menarik dan inovatif.View Author posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *